Total Tayangan Halaman

chiclet from feed burner

Senin, 16 Juli 2012

kisah-tukang-cabut-rumput-naik-haji


Kisah Haji -  kisah-tukang-cabut-rumput-naik-haji

Sungguh, rezeki Allah tak terduga, zigzag dan penuh romantika. Laksana kisah berhaji, berbuku-buku kalau ditulisi. Dulu ada haji abidin (haji atas biaya dinas), haji abakar (haji atas biaya Golkar), haji boh itek (naik haji dengan menjual telur bebek) dan banyak lagi lainnya. Saat berhaji 2005 lalu, saya sempat menanyai beberapa rekan bagaimana bisa berhaji. Apa rahasianya? Saya menduga, orang pergi haji pastilah kaya dan mapan, alias berkecukupan.
Ternyata saya salah, kisahnya bermacam ragam, tetapi hampir senada. Ada yang jual kambing, lembu, kerbau, tanah. Ada yang buat bubuk kupi. Ada yang buat kaleng. Ada yang jualan manisan. Bahkan ada yang cuma jualan sayur-mayur di kaki lima pasar, tapi toh bisa berhaji. Dan mereka bukan orang yang benar-benar kaya.
Kesimpulannya, Allah memilihkan tamu-tamuNya bukanlah orang-orang ”the have”, tetapi ”have a dream” dan ”brave”. Maksudnya bukan orang-orang ”berpunya”, tetapi ”punya mimpi” dan ”pemberani”. So, kalau mau berhaji, bermimpilah dan jadilah pemberani. Nggak percaya? lihatlah sekeliling. Orang-orang yang naik haji bukanlah semua naik Innova, terkadang cuma punya sepeda unta. Bahkan Bang Ameer Hamzah (penceramah Mesjid Raya) naik haji hanya karena doa orang gila (nggak percaya? tanya padanya). Dan saya naik haji pun, karena berkat doa mertua….
Begini kisahnya. Setelah mengikuti Seminar Career Planning di FMIPA Unsyiah pada 1995. Yang digagas oleh Pak Saiful Mahdi (sekarang Direktur ICAIOS) dan diisi oleh Pak Samsul Bahri (PLN). Semoga Allah merahmati mereka berdua (Amin). Saya menulis di My Map of Life (Peta Hidup Saya), bahwa saya akan berhaji pada usia 45 (tahun 2020 nanti). Tetapi rupanya Allah mempercepat 15 tahun ke 2005. Caranya? Di luar dugaan, hanya dengan menjadi cleaning service dan tukang cabut rumput.
Awal Agustus 2003, saya memboyong istri ke Adelaide (Australia Selatan) untuk menemani kuliah S2. Walau saat itu beasiswa untuk satu orang, saya nggak peduli.  Saya yakin: rezeki Allah ada dimana-mana. Suatu malam datanglah telepon dari Ibu isteri (mertua). Beliau mengabarkan bahwa tidak bisa berhaji tahun depan (2004) dengan kawan-kawan sekampung, waiting list karena telat bayar. Padahal beliau sudah berumur 70 tahun, sehingga sangat butuh pendamping. Entah atas pertimbangan apa, beliau minta kami yang mengawani. Padahal banyak saudara lain lebih mampu.
Saya bilang sama isteri ”kita tidak punya dana, beasiswa 1 orang pun kita pakai berdua. Tapi supaya ibu tidak kecewa, kita coba kerja apa yang bisa. Kalaupun nggak cukup berdua, adek saja yang kawani Ibu”. Deal. Akhirnya mulailah kami kerja: apa saja, asal halal. Isteri jadi asisten chef di Restoran Indonesia. Saya jadi cleaning service di dua perusahaan berbeda. Sebelum subuh sudah berangkat kerja, pulang kuliah lanjut lagi. Kadang-kadang hingga tengah malam. Kalau liburan, ditambah lagi kerja lain seperti cabut rumput di nursery (tempat pembibitan), petik cherry, angkat kentang dll. Seru habis.
Saat cabut rumputlah yang paling berkesan, hampir sebulan lamanya. Kami berangkat setelah shalat subuh dan baru pulang menjelang magrib. Bayangkan saja, cabut rumputnya dari jam 8 pagi hingga pukul 6 sore dan letaknya jauh di luar kota. Nursery (tempat pembibitan) kami kerja itu luasnya lebih satu kilometer persegi. Bermacam-macam jenis bibit tersedia disana. Dari bunga-bungaan hingga pohon-pohonan. Dari bunga ”po siploh” hingga mawar berduri. Dari bibit anggur hingga pohon apel besar. Cabut rumputnya sambil merangkak. Merana  sekali kalo cabut rumputnya dibawah pokok mawar, badan tergores sama duri-durinya. Selain sakit pinggang, jari-jaripun jadi nggak ada rasa lagi. Esok harinya, pas bangun pagi semua jari tangan sudah pada ”cekang” semua. Sama istri diurut sedikit-sedikit dengan minyak zaitun, baru normal lagi dan siap dibawa lagi untuk cabut rumput. Duh, kasihannya jari-jari ini. Begini terus menerus hingga hampir sebulan lamanya. Alhamdulillah sekarang jari tangan masih baik-baik aja. Pun, hampir setengah dana haji terkumpul dari cabut rumput ini. Sekali lagi, summa alhamdulillah.
Ketika masa penyetoran haji tiba, kamipun menghitung hasil keringat. Alhamdulillah, terkumpul 6.000 dolar (sekitar 40 juta), cukup untuk berdua. Sungguh, Allah baik sekali. Semua ini berkat doa mertua dan orang-orang yang sayang sama kami. Desember 2005, kamipun ke tanah suci, dipimpin Abu Madinah. Yang terkesan adalah: saya dipercayakan azan saat sholat subuh diatas pesawat menuju tanah suci. Hal itu terus berulang, bahkan saat wukuf di Arafah. Mungkin inilah buah sering azan di meunasah, sejak kecil hingga sekarang. Ada perasaan aneh saya rasakan waktu wukuf. Yaitu: serasa raga ini bukan punya saya. Saat itu, jangankan mandi dan memakai minyak wangi, menggaruk saja tak boleh. Haji lebih dahsyat dari puasa. Kalo puasa tidak boleh makan makanan punya  sendiri, di haji kita bahkan tak punya hak akses atas tubuh sendiri.
Hal lainnya yang saya liat, ada jemaah yang tiba-tiba ”hilang akal” saat wukuf. Beliau jadi sibuk mengorek-ngorek kotak sampah mencari entah apa. Ada yang harus dibawa dengan ambulance, padahal sebelumnya sangat pede karena sudah pernah pergi. Ada yang sakit dari sejak berangkat hingga pulang setelah curiga uangnya diambil pimpinan. Ada yang kejebak dan pingsan dalam lift setelah menuduh orang lain membuang daging yang dikeringkan diatas kulkas. Ada yang ditinggalkan bus karena mencari orang-orang yang tertinggal.
Kisah saya sendiri, hilang jam setelah takjub karena jam tersebut tetap lengket hingga haji selesai. Bisa berjumpa kawan lama waktu di Adelaide dulu (asal Padang) setelah berdoa (agar ketemu) di Masjid Nabawi. Padahal saat itu, jutaan orang ada disana. Yang terakhir, saya tiga kali bolak-balik masuk Raudhah (tempat makbul doa, terletak antara rumah nabi dan mimbarnya) untuk mendoakan saudara yang sudah tiga kali masuk ICCU di Aceh karena komplikasi paru-paru dan diabetes. Beliau bahkan sudah dipeuintat keluarganya yang sudah rela melepas kepergiannya. Toh beliau sehat kembali dan sehat kembali setiap kali kami berdoa di Raudhah. Bahkan berjumpa saya waktu sudah kembali dari tanah suci. Banyak lagi kisah lainnya. Tak cukup halaman untuk ditulis disini. Demikian dulu, sampai jumpa di tulisan lainnya.
*) Penulis: Mantan buruh di Adelaide, Australia Selatan, saat kuliah S2  disana.


Kisah Haji Mbah Rusminto

Menunaikan ibadah haji di Mekah harusnya menjadi momentum agung bagi seorang hamba untuk menjalin kedekatan dengan Allah. Di sanalah jutaan umat manusia dari berbagai penjuru dunia berkumpul, bersimpuh khusuk menggelar ritual ibadah haji (manasik). Menghikmati keagungan Allah subhanahu wa ta’ala. Sungguh mulia orang yang diberi kesempatan berhaji, dan sungguh indah orang yang menikmati perjalanan meniti ibadah haji.

Tapi tidak begitu yang dialami oleh Mbah Rusminto (70 tahun). Perjalanan haji justru menguak tabir aib yang selama ini dipendamnya. Ka’bah dan kesakralan tanah suci bagai membelejeti perilaku-perilaku buruk yang dilakukannya selama ini.



Aib-aibnya tergambar jelas dalam sikap dan perilaku anehnya selama di tanah suci. Semua itu terjadi secara spontan di luar jangkauan nalarnya. Orang-orang pun, terutama beberapa tetangganya yang bersama-sama satu rombogan dengannya, terbelalak. Sehingga terkuaklah rahasia di balik siapa sebenarnya Mbah Rusminto. Perilaku apa saja yang telah mengantarnya mempunyai perilaku-perilaku yang aneh selama di tanah suci? Berikut ini kisah selengkapnya. Nama-nama dan tempat peristiwa dalam cerita ini telah disamarkan. Bila terjadi kesamaan, hal itu hanya kebetulan belaka.

Perilaku Aneh dan Menjijikkan
Berhaji bagi penduduk desa Mekarsari, sebuah kampung di pelosok Propinsi Jawa Tengah, memang merupakan sebuah prestise. Sehingga tak sedikit penduduk yang berkeinginan untuk naik haji sekedar untuk menaikkan citra diri mereka. Setelah berhaji, mereka akan dipanggil “Pak Kaji” atau Mbah Kaji”. Duh, senangnya hati dipanggil seperti itu. Terasa begitu terhormat dan penuh wibawa.

Motif itu pula yang melecut Mbah Rusminto untuk bisa segera berangkat haji. Terbayang di pelupuk matanya, sepulang dari haji, dirinya akan dipanggil “Mbah Kaji” oleh tetangga-tetangganya., bahkan oleh seluruh warga di kampungnya. Orang-orang akan semakin menaruh hormat kepadanya. Atau paling tidak merasa segan kepadanya. Hmm, sungguh membanggakan sekali, begitu barangkali pikiran Mbah Rusminto. Dengan predikat “haji”, hari-hari tuanya setelah ditinggal mati oleh istrinya akan dilalui dengan segudang hormat dan segan dari masyarakat.

Sebenarnya Mbah Rusminto bukanlah tergolong orang berada. Karena itu, untuk membayar ongkos haji, ia harus pontang-panting sabet sana-sabet sini, termasuk di antaranya harus ngutang (berhutang) dan merelakan sebagian besar tanahnya terjual. Padahal, beberapa bagian tanah itu adalah milik anaknya yang telah ia berikan, tapi akhirnya diminta kembali olehnya. Semua itu semata untuk memenuhi hajat ‘nafsunya’ agar dapat memiliki prestise sebagai seorang haji di mata masyarakat.

Sebagaimana layaknya orang yang akan berangkat haji, Mbah Rusminto pun mengadakan acara kenduri dan pengajian dengan mengundang karib kerabat dan orang-orang kampung. Hingga waktu yang telah ditentukan, ia pun akhirnya berangkat haji bersama-sama beberapa tetangganya satu rombongan.

Tak ada yang aneh saat perjalanan menuju ke tanah suci. Namun, sesampainya di Mekah, mulailah terjadi hal-hal aneh dan ganjil yang dialami oleh Mbah Rusminto. Di Masjidil Haram, misalnya, tiba-tiba Mbah Rusminto mengeluarkan dahaknya dari tenggorokan dan kemudian meludahkannya ke lantai masjid. Tentu saja orang-orang yang melihat tingkah Mbah Rusminto itu terkejut bukan main.

“Lho Mbah, kok jenengan ngidu ning tegel? (Lho Mbah, kok Anda meludah di lantai?)” tegur Kiai Ahmad, pemimpin rombongan yang memimpin rombongan di mana Mbah Rusminto ikut di dalamnya.

Dan anehnya, mendengar teguran Kiai Ahmad, bukannya Mbah Rusminto membersihkan dahak kental yang berjuntai di lantai masjid itu, tapi Mbah Rusminto malahan memungut dahak itu dengan tangannya dan memasukkannya ke dalam gelas plastik yang dibawanya. Begitu seterusnya hingga dahak itu banyak dan hampir memenuhi gelas plastik yang dibawanya. Lalu terjadilah keanehan selanjutnya. Di luar dugaan orang-orang, Mbah Rusminto kemudian meminum dahaknya itu tanpa sedikit pun rasa jijik. Lagi-lagi orang-orang dibuat heran.

“Lho riyak kok diombe Mbah? (Lho, dahak kok diminum Mbah?)” tanya Kiai Ahmad dengan rasa jijik melihat tingkah Mbah Rusminto itu. Eh, yang ditanya malah cengar-cengir saja seperti orang yang tak bersalah. Sedang orang-orang yang melihat merasakan jijik yang amat sangat. Kiai Ahmad sendiri bahkan mengaku tidak doyan makan selama berhari-hari bila teringat perilaku menjijikkan Mbah Rusminto meminum dahaknya sendiri. Setiap kali makan dan teringat peristiwa menjijikkan itu, Kiai Ahmad selalu muntah-muntah.

“Hilang” Diajak Anaknya
Berbagai manasik telah dilalui Mbah Rusminto beserta rombongannya. Manasik selanjutnya adalah ke Arafah. Setelah wukuf, sekitar jam 12.00, semua rombongan bermunajat kepada Allah di luar tenda. Namun, Mbah Rusminto malah ogah-ogahan duduk-duduk saja di tenda.

Saat di Muzdalifah, Mbah Rusminto tak mau mencari kerikil (batu kecil) sendiri. Ya, akhirnya ada tetangganya yang mengalah mencarikannya. Kemudian, rombongan menuju Mina untuk melempar jumrah. Di sana, Rusminto malah “menghilang”. Entah ke mana orang-orang nggak tahu.

Menurut pengakuannya setelah ditemukan, ia tadi diajak pergi oleh salah seorang anaknya yang bernama Sardi. Ini tentu aneh sekali, karena Sardi anaknya itu tidak ikut haji. Anehnya, Mbah Rusminto tidak merasakan kejanggalan itu. Akhirnya, Mbah Rusminto tidak melempar jumrah sendiri.

Saat rombongan kembali ke Mekah untuk thawaf wada (thawaf yang terakhir), nah saat itulah Mbah Rusminto “menghilang” lagi. Tak ada yang tahu ke mana perginya. Dan yang mengejutkan, setelah tiba-tiba ia nongol, dari mulut Mbah Rusminto terlontar omongan yang seolah tanpa disadarinya seperti orang meracau. Dalam omongannya itu, Mbah Rusminto justru menguak aib yang selama ini disimpannya rapat-rapat.

“Aku ini bukan anaknya Marto. Yang anaknya Marto itu Sartono. Aku minta tanahnya Sartono itu dengan membayar pembela 2 juta,” itulah di antara kata-katanya tanpa ditanya di hadapan teman-teman serombongan yang sebagiannya adalah tetatangga-tetangganya sendiri.

Malam Jum’at, rombongan sampai di Madinatul Hujat, siangnya setelah shalat Jum’at, Mbah Rusminto mengaku diajak lagi oleh “Sardi”, anaknya. Anehnya, Mbah Rusminto bagai kerbau dicocok hidungnya, menuruti saja ke mana pun diajak oleh “Sardi” dan tidak merasa kalau dirinya tersesat. “Hilangnya” Mbah Rusminto membuat kebingungan teman-temannya satu rombongan. Untungnya, akhirnya Mbah Rusminto dapat ditemukan.

Ada apa di balik semua kisah yang terjadi pada Mbah Rusminto?
Menarik Hibah tanpa Alasan
Ternyata memang, semua rangkaian keanehan dan keganjilan yang dialami oleh Mbah Rusminto selama menunaikan ibadah haji adalah sebagai cerminan dari perilaku jahatnya selama ini. Seolah-olah Allah hendak memperlihatkan kebesaran-Nya dengan menguak tabir aib hamba-Nya yang berbuat jahat. Kesucian Mekah seolah tak bisa menerima orang-orang jahat seperti Mbah Rusminto yang hajinya pun tidak ikhlas, tapi hanya memburu prestise diri, yaitu gelar “Haji” semata.

Lalu, apa saja perilaku jahat Mbah Rusminto?
Menurut penuturan Kiai Ahmad, sebelum berangkat haji, Mbah Rusminto telah memberi hibah kepada anak perempuannya berupa sebidang tanah. Namun tiba-tiba ia memintanya kembali tanpa alasan yang pasti, sehingga anaknya pun merasa sakit hati.

Meminta kembali hibah yang telah diberikan kepada anak memang boleh secara syari’at. Tapi, menurut Kiai Ahmad, dengan syarat, alasannya harus benar dan dengan kerelaan si penerima hibah. Bila tidak, sama saja orang itu meludah kemudian menjilat dan menelan kembali ludahnya itu. Kiai Ahmad mengutip sebuah hadits, “Orang yang meminta kembali atau membatalkan sedekah/hibahnya, bagikan anjing yang muntah, kemudian meminum kembali muntahannya.” (HR. Bukhari).

Dan hal itu telah terjadi pada Mbah Rusminto ketika di Masjidil Haram. Ia telah meminum dahaknya sendiri yang dimuntahkannya tanpa rasa jijik sedikitpun. Na’udzubillahi min dzalik.

edangkan Sardi yang selalu “mengganggu” Mbah Rusminto dengan selalu mengajak pergi Mbah Rusminto selama di tanah suci, adalah anak Rusminto yang menghutanginya sejumlah uang, namun sampai ia berangkat haji, ia belum membayar hutangnya tersebut. Padahal Sardi sangat membutuhkan uang itu. Karenanya Sardi sebenarnya tidak rela dengan tindakan ayahnya itu.

Soal pengakuan Mbah Rusminto di Mekah bahwa ia bukannya anaknya Marto, menurut Kiai Ahmad, adalah karena kecurangan dan ketamakannya terhadap harta. Mbah Rusminto meminta warisan yang ditinggalkan Marto, yang sebenarnya bukan ayahnya. Sebab ketika ibunya bercerai dengan Marto, ibunya belum hamil.

Mbah Rusminto adalah anak hasil perkawinan ibunya dengan orang lain, tidak dengan Marto. Jadi, Mbah Rusminto bukanlah anak dari Marto. Namun, karena gila harta, Mbah Rusminto mengaku-aku sebagai anaknya Marto dan meminta bagian warisan kepada Sartono, anak kandung Marto yang sebenarnya.

Cara Mbah Rusminto meminta bagian warisan itu pun dengan menghalalkan segala cara. Mbah Rusminto secara diam-diam menteror dan mengintimidasi Sartono sehingga membuat Sartono nyaris stress dan linglung. Kasus permintaan bagian warisan itu sendiri sebenarnya sempat dibawa ke pengadilan. Tapi, akhirnya Mbah Rusminto dapat memenangkan perkara itu karena untuk mencapai ambisinya itu, ia berani membayar pengacara (advokad) agar memenangkan dalam persidangan. Persis seperti pengakuannya ketika di Mekah.

Akibatnya, saat berhaji, Mbah Rusminto menjelma seperti orang linglung. Perilakunya aneh dan sak karepe dhewe (semaunya sendiri). Bahkan ia pun menguak aibnya sendiri yang selama ini ditutup-tutupinya dengan rapat-rapat di hadapan rombongan haji yang tak lain beberapa di antaranya adalah tetangganya sendiri.

Begitulah nasib Mbah Rusminto. Tidak bisa beribadah haji dengan baik akibat ulahnya sendiri. Bahkan angan-angan Mbah Rusminto untuk menggapai prestise sebagai seorang “Mbah Kaji” yang disegani dan dihormati tidak tercapai. Alih-alih tercapai, bahkan aibnya yang selama ini dipendamnya rapat-rapat malah terkuak, yang akhirnya malah menghancurkan namanya.

Masa tua Mbah Rusminto pun akhirnya dilalui dengan penuh penderitaan. Sampai akhirnya Mbah Rusminto meninggal dunia beberapa tahun kemudian. Semoga ada ibroh (pelajaran berharga) yang dapat kita petik dari kisah di atas.

*** Seperti yang diceritakan Baqiyatus Sholihah (tetangga Mbah Rusminto) kepada Badiatul Muchlisin Asti.

Sumber : Kabar Indonesia

Kamis, 12 Juli 2012

PERJALANAN YANG PAHALANYA BERLIPAT

Asslkum.....Rasulullah SAW bersabda : "Suatu Perjalanan tidak akan dilipatgandakan pahalanya kecuali perjalanan menuju kepada 3 masjid; yaitu Masjidil Haram, Masjidil Aqsa / palestine, dan Masjid Nabawi/ Madina -Hadits Riwayat BUKHARI didalam kitab Muhtarul Hadits hal. 532

Kamis, 03 Maret 2011

Rindu Kepada Anak yang sudah lama meninggal

Ass_kum, kali ini saya akan mengisahkan kembali cerita yang dialami sahabat saya (sebut saja H. Eko) yang sepulang darimenunaikan rukun Islam yang ke 5, berhaji ke tanah suci.
Dengan ditemani istrinya H. Eko menunaikan Ibadah Hajinya 'berkat ketelatenannya' nabung uang hasil ia buka usaha tambal ban di desanya. Keinginan itu baru terlaksana setelah perjalanan panjang selama 20 tahun, suatu usaha yang luar biasa demi keinginannya menunaikan rukun ke 5. Sampai sampai ia harus melewati masa menyedihkan harus ditinggal pergi sang anak yang masih berumur 6 tahun. Si Jamil, namanya.
H. Eko begitu yakin jika berdoa di masjidil Haram akan terkabul saat itu juga.  Setelah malam harinya ia bedoa agar ALLAH bisa mempertemukan dia dengan anaknya Jamil, akhirnya benar juga, ia bisa 'bertemu dan berbicara langsung dengan Jamil' sewaktu berada di maqam Ibrahim. Ia sungguh sungguh berbicara seperti layaknya seseorang berbicara dengan orang. Namun bagi istri H. Eko yang menyaksikan kejadian itu merasa aneh, sebab yang ia lihat pada waktu itu sepertinya H. Eko, sang suami seperti berbicara sendiri.
"mas tadi kok berbicara sendiri, seperti orang tidak waras saja." kata istri H Eko setelah sesampainya di hotel kembali.
"bu......aku tadi ketemu si Jamil, anak kita."
"ketemu si Jamil? kamu jangan mengada ada....Jamil kan sudah lama meninggal.."
"betul bu....tapi saya betul betul berhadapan dan berbicara langsung dengan dia, alhamdulillah sekarang ia sudah merasa senang, ia sudah berada di satu taman yang indah sekali katanya....."kata H. Eko menerawang jauh, seolah mengenang apa yang baru saja dialaminya.
"apa betul begitu mas...???"
"begitulah kenyataannya......, aku sendiri merasakannya" tiba tiba saja air mata H Eko tak bisa dibendung, ia mengalir ke pipinya yang mulai ada keriput.
"subhanallah....."sahut istrinya dengan penuh haru. "rasanya aku jadi kangen mas sama Jamil....."
"yah........cobalah memohon kepada Allah, agar dapat bertemu dengannya."
Istrinya mencoba meniru apa yang telah dilakukan H. eko, tapi entah kenapa sampai menjelang kepulangan ke tanah air belum juga dikabulkan oleh-Nya.
Selidik punya selidik, ternyata istri H. Eko sewaktu Jamil masih hidup memang kurang begitu perhatian kepada Jamil, tidak seperti yang dilakukan oleh H. Eko, yang begitu sabar menemani dan mendidik anaknya itu, sekalipun ia hanya seorang 'penambal ban'
Tapi H Eko bisa menikmati hidup dengan sebenarnya.

Sekian semoga bermanfaat.

Wassalamu'alaikum wr. wb.

AgungIchwanto
From TanahSuci Gresik

Senin, 28 Februari 2011

wanita yang haji sendirian

WANITA BERHAJI – BEPERGIAN HARUS ADA MUHRIMNYA :

Hadits tentang syarat wanita jika melaksanakan Ibadah Haji/ bepergian :

Tidak dibolehkan bagi seorang wanita yang ber-iman kepada ALLAH dan hari kiamat bepergian sejauh tiga malam (hari) kecuali bersama muhrimnya (HR. Muslim)

Semoga bermanfaat

Hadits diambil dari kitab : HADITS SHAHIH AL JAMIUS SHAHIH BUKHARI MUSLIM karangan Hussein Bahreisj. ©

Tawakkal yang salah

INNALILLAHI WA INNA ILAHI RAAJI’UUN…..

Dia hanya bisa mengucapkan Innalillahi wa inna ilahi raaji’uun…..ketika sepasang sandalnya yang lenyap entah kemana.

Hal ini dialami dan diceritakan langsung kepada saya ketika kawan saya usai mengerjakan ibadah Haji di tanah suci, sebagai ‘oleh-oleh’ katanya.

Siang itu cuaca di sekitar Masjidil Haram sedikit berawan, namun panasnya masih terasa. Sementara itu sudah banyak jama’ah haji dari berbagai pelosok negeri berdatangan sehingga masjidil haram terasa sesak oleh jama’ah.
Teman saya melangkahkan kaki menuju pintu gerbang masjidil haram, dan dilihatnya begitu banyak sandal sepatu terompah dan semacamnya tergeletak di depan pintu masuk. Ada juga yang dibungkus plastik, tas kecil, atau sekedar ditutup koran. Teman sayapun bergumam dalam hati : “sudah! biarin saja sandal ini saya taruh disini, kalau Allah menghendaki hilang biarlah hilang, kalau masih rejekiku tentu tidak akan hilang.”
Sang temanku itupun segera menaruh sandalnya yang baru dibelinya itu begitu saja dilantai, namun betapa terkejutnya dia, karena baru melangkah sekitar 3 s/d 4 langkah, ia mencoba menengok ke tempat sandalnya ditaruh, ternyata sandal itu sudah tidak ada ditempat. Ia mencoba kembali dan meneliti ke tempat saldalnya tadi, barangkali mungkin ‘terselip’ diantara beberapa sandal yang berserakan. Kira kira 10 menit, temanku mulai yakin bahwa sandalnya benar benar telah lenyap entah kemana. Ia hanya bergumam :
“Innalillahi wa inna ilaihi raajiuun……”
Temanku tak habis berpikir, kenapa sandal itu begitu cepatnya hilang, padahal baru sekitar 5 – 10 detik saja.
Ia baru sadar jika dirinya salah. Ia telah berbuat sombong mendahului kehendak Allah tanpa ber-tawakkal kepada-Nya.
Tawakkal itu diibaratkan oleh Rasulullah SAW sebagai berikut : “ikatlah onta kamu, lalu bertawakkal-lah kepada Allah.”
Rupanya disini kesalahan Teman saya itu, ia tidak berusaha ‘meng-aman-kan sandalnya terlebih dahulu, tapi ia sudah ‘sok tawakkal’

Inilah gambaran tentang tawakkal kepada Allah, jadi lakukan segi pengamanan dulu, baru kita bertawakkal. jika memang masih ada berarti masih rejeki kita, tapi jika hilang, maka itu memang sudah kehendak Allah. Wallahu-a’lam

Sekian semoga bermanfaat.

AgungIchwanto,
dari tanahsuci-gresik

Pahala Anak Kecil berhaji

PAHALA DARI ANAK KITA YANG MELAKUKAN HAJI :

Hadits tentang pahala dari anak kita yang melakukan haji :

Seorang Ibu mengangkat anaknya (yang masih kecil) dengan berkata : “Ya Rasulullah, bolehkah anak ini berhaji?”, lalu Rasulullah SAW menjawab : “Ya, dan bagi kamu akan mendapat pahala.” (HR. Muslim dari Ibnu Abbas ra)

semoga bermanfaat,

Hadits diambil dari kitab : HADITS SHAHIH AL JAMIUS SHAHIH BUKHARI MUSLIM karangan Hussein Bahreisj. ©