Kisah Haji - kisah-tukang-cabut-rumput-naik-haji
Sungguh, rezeki Allah tak terduga, zigzag dan penuh romantika.
Laksana kisah berhaji, berbuku-buku kalau ditulisi. Dulu ada haji abidin (haji atas biaya dinas), haji abakar (haji atas biaya Golkar), haji boh itek (naik haji dengan menjual telur bebek) dan banyak lagi lainnya. Saat berhaji 2005 lalu, saya sempat menanyai beberapa rekan bagaimana bisa berhaji. Apa rahasianya? Saya menduga, orang pergi haji pastilah kaya dan mapan, alias berkecukupan.
Ternyata saya salah, kisahnya bermacam ragam, tetapi hampir senada.
Ada yang jual kambing, lembu, kerbau, tanah. Ada yang buat bubuk
kupi. Ada yang buat kaleng. Ada yang jualan manisan. Bahkan ada yang
cuma jualan sayur-mayur di kaki lima pasar, tapi toh bisa berhaji.
Dan mereka bukan orang yang benar-benar kaya.
Kesimpulannya, Allah memilihkan tamu-tamuNya bukanlah orang-orang ”the have”, tetapi ”have a dream” dan ”brave”. Maksudnya bukan orang-orang ”berpunya”, tetapi ”punya mimpi” dan ”pemberani”. So, kalau mau berhaji, bermimpilah dan jadilah pemberani.
Nggak percaya? lihatlah sekeliling. Orang-orang yang naik haji
bukanlah semua naik Innova, terkadang cuma punya sepeda unta. Bahkan
Bang Ameer Hamzah (penceramah Mesjid Raya) naik haji hanya karena
doa orang gila (nggak percaya? tanya padanya). Dan saya naik haji
pun, karena berkat doa mertua….
Begini
kisahnya. Setelah mengikuti Seminar Career Planning di FMIPA
Unsyiah pada 1995. Yang digagas oleh Pak Saiful Mahdi (sekarang
Direktur ICAIOS) dan diisi oleh Pak Samsul Bahri (PLN). Semoga Allah
merahmati mereka berdua (Amin). Saya menulis di My Map of Life
(Peta Hidup Saya), bahwa saya akan berhaji pada usia 45 (tahun 2020
nanti). Tetapi rupanya Allah mempercepat 15 tahun ke 2005. Caranya?
Di luar dugaan, hanya dengan menjadi cleaning service dan tukang cabut rumput.
Awal
Agustus 2003, saya memboyong istri ke Adelaide (Australia Selatan)
untuk menemani kuliah S2. Walau saat itu beasiswa untuk satu orang,
saya nggak peduli. Saya yakin: rezeki Allah ada dimana-mana. Suatu
malam datanglah telepon dari Ibu isteri (mertua). Beliau mengabarkan
bahwa tidak bisa berhaji tahun depan (2004) dengan kawan-kawan
sekampung, waiting list karena telat bayar. Padahal beliau
sudah berumur 70 tahun, sehingga sangat butuh pendamping. Entah atas
pertimbangan apa, beliau minta kami yang mengawani. Padahal banyak
saudara lain lebih mampu.
Saya bilang sama isteri ”kita tidak punya dana, beasiswa 1 orang
pun kita pakai berdua. Tapi supaya ibu tidak kecewa, kita coba kerja
apa yang bisa. Kalaupun nggak cukup berdua, adek saja yang kawani
Ibu”. Deal. Akhirnya mulailah kami kerja: apa saja, asal halal.
Isteri jadi asisten chef di Restoran Indonesia. Saya jadi cleaning
service di dua perusahaan berbeda. Sebelum subuh sudah berangkat
kerja, pulang kuliah lanjut lagi. Kadang-kadang
hingga tengah malam. Kalau liburan, ditambah lagi kerja lain
seperti cabut rumput di nursery (tempat pembibitan), petik cherry,
angkat kentang dll. Seru habis.
Saat
cabut rumputlah yang paling berkesan, hampir sebulan lamanya. Kami
berangkat setelah shalat subuh dan baru pulang menjelang magrib.
Bayangkan saja, cabut rumputnya dari jam 8 pagi hingga pukul 6 sore
dan letaknya jauh di luar kota. Nursery (tempat pembibitan) kami
kerja itu luasnya lebih satu kilometer persegi. Bermacam-macam jenis
bibit tersedia disana. Dari bunga-bungaan hingga pohon-pohonan.
Dari bunga ”po siploh” hingga mawar berduri. Dari bibit
anggur hingga pohon apel besar. Cabut rumputnya sambil merangkak.
Merana sekali kalo cabut rumputnya dibawah pokok mawar, badan
tergores sama duri-durinya. Selain sakit pinggang, jari-jaripun jadi nggak ada rasa lagi. Esok harinya, pas bangun pagi semua jari tangan sudah pada ”cekang”
semua. Sama istri diurut sedikit-sedikit dengan minyak zaitun, baru
normal lagi dan siap dibawa lagi untuk cabut rumput. Duh,
kasihannya jari-jari ini. Begini terus menerus hingga hampir sebulan
lamanya. Alhamdulillah sekarang jari tangan masih baik-baik aja.
Pun, hampir setengah dana haji terkumpul dari cabut rumput ini.
Sekali lagi, summa alhamdulillah.
Ketika
masa penyetoran haji tiba, kamipun menghitung hasil keringat.
Alhamdulillah, terkumpul 6.000 dolar (sekitar 40 juta), cukup untuk
berdua. Sungguh, Allah baik sekali. Semua ini berkat doa mertua dan
orang-orang yang sayang sama kami. Desember 2005, kamipun ke
tanah suci, dipimpin Abu Madinah. Yang terkesan adalah: saya
dipercayakan azan saat sholat subuh diatas pesawat menuju tanah suci.
Hal itu terus berulang, bahkan saat wukuf di Arafah. Mungkin inilah
buah sering azan di meunasah, sejak kecil hingga sekarang. Ada
perasaan aneh saya rasakan waktu wukuf. Yaitu: serasa raga ini
bukan punya saya. Saat itu, jangankan mandi dan memakai minyak
wangi, menggaruk saja tak boleh. Haji lebih dahsyat dari puasa. Kalo
puasa tidak boleh makan makanan punya sendiri, di haji kita bahkan
tak punya hak akses atas tubuh sendiri.
Hal
lainnya yang saya liat, ada jemaah yang tiba-tiba ”hilang akal”
saat wukuf. Beliau jadi sibuk mengorek-ngorek kotak sampah mencari
entah apa. Ada yang harus dibawa dengan ambulance, padahal
sebelumnya sangat pede karena sudah pernah pergi. Ada yang sakit
dari sejak berangkat hingga pulang setelah curiga uangnya diambil
pimpinan. Ada yang kejebak dan pingsan dalam lift setelah menuduh
orang lain membuang daging yang dikeringkan diatas kulkas. Ada yang
ditinggalkan bus karena mencari orang-orang yang tertinggal.
Kisah
saya sendiri, hilang jam setelah takjub karena jam tersebut tetap
lengket hingga haji selesai. Bisa berjumpa kawan lama waktu di
Adelaide dulu (asal Padang) setelah berdoa (agar ketemu) di Masjid
Nabawi. Padahal saat itu, jutaan orang ada disana. Yang terakhir,
saya tiga kali bolak-balik masuk Raudhah (tempat makbul doa,
terletak antara rumah nabi dan mimbarnya) untuk mendoakan saudara
yang sudah tiga kali masuk ICCU di Aceh karena komplikasi paru-paru
dan diabetes. Beliau bahkan sudah dipeuintat keluarganya
yang sudah rela melepas kepergiannya. Toh beliau sehat kembali dan
sehat kembali setiap kali kami berdoa di Raudhah. Bahkan berjumpa
saya waktu sudah kembali dari tanah suci. Banyak lagi kisah lainnya.
Tak cukup halaman untuk ditulis disini. Demikian dulu, sampai jumpa
di tulisan lainnya.
*) Penulis: Mantan buruh di Adelaide, Australia Selatan, saat kuliah S2 disana.