Total Tayangan Halaman

chiclet from feed burner

Senin, 16 Juli 2012

Kisah Haji Mbah Rusminto

Menunaikan ibadah haji di Mekah harusnya menjadi momentum agung bagi seorang hamba untuk menjalin kedekatan dengan Allah. Di sanalah jutaan umat manusia dari berbagai penjuru dunia berkumpul, bersimpuh khusuk menggelar ritual ibadah haji (manasik). Menghikmati keagungan Allah subhanahu wa ta’ala. Sungguh mulia orang yang diberi kesempatan berhaji, dan sungguh indah orang yang menikmati perjalanan meniti ibadah haji.

Tapi tidak begitu yang dialami oleh Mbah Rusminto (70 tahun). Perjalanan haji justru menguak tabir aib yang selama ini dipendamnya. Ka’bah dan kesakralan tanah suci bagai membelejeti perilaku-perilaku buruk yang dilakukannya selama ini.



Aib-aibnya tergambar jelas dalam sikap dan perilaku anehnya selama di tanah suci. Semua itu terjadi secara spontan di luar jangkauan nalarnya. Orang-orang pun, terutama beberapa tetangganya yang bersama-sama satu rombogan dengannya, terbelalak. Sehingga terkuaklah rahasia di balik siapa sebenarnya Mbah Rusminto. Perilaku apa saja yang telah mengantarnya mempunyai perilaku-perilaku yang aneh selama di tanah suci? Berikut ini kisah selengkapnya. Nama-nama dan tempat peristiwa dalam cerita ini telah disamarkan. Bila terjadi kesamaan, hal itu hanya kebetulan belaka.

Perilaku Aneh dan Menjijikkan
Berhaji bagi penduduk desa Mekarsari, sebuah kampung di pelosok Propinsi Jawa Tengah, memang merupakan sebuah prestise. Sehingga tak sedikit penduduk yang berkeinginan untuk naik haji sekedar untuk menaikkan citra diri mereka. Setelah berhaji, mereka akan dipanggil “Pak Kaji” atau Mbah Kaji”. Duh, senangnya hati dipanggil seperti itu. Terasa begitu terhormat dan penuh wibawa.

Motif itu pula yang melecut Mbah Rusminto untuk bisa segera berangkat haji. Terbayang di pelupuk matanya, sepulang dari haji, dirinya akan dipanggil “Mbah Kaji” oleh tetangga-tetangganya., bahkan oleh seluruh warga di kampungnya. Orang-orang akan semakin menaruh hormat kepadanya. Atau paling tidak merasa segan kepadanya. Hmm, sungguh membanggakan sekali, begitu barangkali pikiran Mbah Rusminto. Dengan predikat “haji”, hari-hari tuanya setelah ditinggal mati oleh istrinya akan dilalui dengan segudang hormat dan segan dari masyarakat.

Sebenarnya Mbah Rusminto bukanlah tergolong orang berada. Karena itu, untuk membayar ongkos haji, ia harus pontang-panting sabet sana-sabet sini, termasuk di antaranya harus ngutang (berhutang) dan merelakan sebagian besar tanahnya terjual. Padahal, beberapa bagian tanah itu adalah milik anaknya yang telah ia berikan, tapi akhirnya diminta kembali olehnya. Semua itu semata untuk memenuhi hajat ‘nafsunya’ agar dapat memiliki prestise sebagai seorang haji di mata masyarakat.

Sebagaimana layaknya orang yang akan berangkat haji, Mbah Rusminto pun mengadakan acara kenduri dan pengajian dengan mengundang karib kerabat dan orang-orang kampung. Hingga waktu yang telah ditentukan, ia pun akhirnya berangkat haji bersama-sama beberapa tetangganya satu rombongan.

Tak ada yang aneh saat perjalanan menuju ke tanah suci. Namun, sesampainya di Mekah, mulailah terjadi hal-hal aneh dan ganjil yang dialami oleh Mbah Rusminto. Di Masjidil Haram, misalnya, tiba-tiba Mbah Rusminto mengeluarkan dahaknya dari tenggorokan dan kemudian meludahkannya ke lantai masjid. Tentu saja orang-orang yang melihat tingkah Mbah Rusminto itu terkejut bukan main.

“Lho Mbah, kok jenengan ngidu ning tegel? (Lho Mbah, kok Anda meludah di lantai?)” tegur Kiai Ahmad, pemimpin rombongan yang memimpin rombongan di mana Mbah Rusminto ikut di dalamnya.

Dan anehnya, mendengar teguran Kiai Ahmad, bukannya Mbah Rusminto membersihkan dahak kental yang berjuntai di lantai masjid itu, tapi Mbah Rusminto malahan memungut dahak itu dengan tangannya dan memasukkannya ke dalam gelas plastik yang dibawanya. Begitu seterusnya hingga dahak itu banyak dan hampir memenuhi gelas plastik yang dibawanya. Lalu terjadilah keanehan selanjutnya. Di luar dugaan orang-orang, Mbah Rusminto kemudian meminum dahaknya itu tanpa sedikit pun rasa jijik. Lagi-lagi orang-orang dibuat heran.

“Lho riyak kok diombe Mbah? (Lho, dahak kok diminum Mbah?)” tanya Kiai Ahmad dengan rasa jijik melihat tingkah Mbah Rusminto itu. Eh, yang ditanya malah cengar-cengir saja seperti orang yang tak bersalah. Sedang orang-orang yang melihat merasakan jijik yang amat sangat. Kiai Ahmad sendiri bahkan mengaku tidak doyan makan selama berhari-hari bila teringat perilaku menjijikkan Mbah Rusminto meminum dahaknya sendiri. Setiap kali makan dan teringat peristiwa menjijikkan itu, Kiai Ahmad selalu muntah-muntah.

“Hilang” Diajak Anaknya
Berbagai manasik telah dilalui Mbah Rusminto beserta rombongannya. Manasik selanjutnya adalah ke Arafah. Setelah wukuf, sekitar jam 12.00, semua rombongan bermunajat kepada Allah di luar tenda. Namun, Mbah Rusminto malah ogah-ogahan duduk-duduk saja di tenda.

Saat di Muzdalifah, Mbah Rusminto tak mau mencari kerikil (batu kecil) sendiri. Ya, akhirnya ada tetangganya yang mengalah mencarikannya. Kemudian, rombongan menuju Mina untuk melempar jumrah. Di sana, Rusminto malah “menghilang”. Entah ke mana orang-orang nggak tahu.

Menurut pengakuannya setelah ditemukan, ia tadi diajak pergi oleh salah seorang anaknya yang bernama Sardi. Ini tentu aneh sekali, karena Sardi anaknya itu tidak ikut haji. Anehnya, Mbah Rusminto tidak merasakan kejanggalan itu. Akhirnya, Mbah Rusminto tidak melempar jumrah sendiri.

Saat rombongan kembali ke Mekah untuk thawaf wada (thawaf yang terakhir), nah saat itulah Mbah Rusminto “menghilang” lagi. Tak ada yang tahu ke mana perginya. Dan yang mengejutkan, setelah tiba-tiba ia nongol, dari mulut Mbah Rusminto terlontar omongan yang seolah tanpa disadarinya seperti orang meracau. Dalam omongannya itu, Mbah Rusminto justru menguak aib yang selama ini disimpannya rapat-rapat.

“Aku ini bukan anaknya Marto. Yang anaknya Marto itu Sartono. Aku minta tanahnya Sartono itu dengan membayar pembela 2 juta,” itulah di antara kata-katanya tanpa ditanya di hadapan teman-teman serombongan yang sebagiannya adalah tetatangga-tetangganya sendiri.

Malam Jum’at, rombongan sampai di Madinatul Hujat, siangnya setelah shalat Jum’at, Mbah Rusminto mengaku diajak lagi oleh “Sardi”, anaknya. Anehnya, Mbah Rusminto bagai kerbau dicocok hidungnya, menuruti saja ke mana pun diajak oleh “Sardi” dan tidak merasa kalau dirinya tersesat. “Hilangnya” Mbah Rusminto membuat kebingungan teman-temannya satu rombongan. Untungnya, akhirnya Mbah Rusminto dapat ditemukan.

Ada apa di balik semua kisah yang terjadi pada Mbah Rusminto?
Menarik Hibah tanpa Alasan
Ternyata memang, semua rangkaian keanehan dan keganjilan yang dialami oleh Mbah Rusminto selama menunaikan ibadah haji adalah sebagai cerminan dari perilaku jahatnya selama ini. Seolah-olah Allah hendak memperlihatkan kebesaran-Nya dengan menguak tabir aib hamba-Nya yang berbuat jahat. Kesucian Mekah seolah tak bisa menerima orang-orang jahat seperti Mbah Rusminto yang hajinya pun tidak ikhlas, tapi hanya memburu prestise diri, yaitu gelar “Haji” semata.

Lalu, apa saja perilaku jahat Mbah Rusminto?
Menurut penuturan Kiai Ahmad, sebelum berangkat haji, Mbah Rusminto telah memberi hibah kepada anak perempuannya berupa sebidang tanah. Namun tiba-tiba ia memintanya kembali tanpa alasan yang pasti, sehingga anaknya pun merasa sakit hati.

Meminta kembali hibah yang telah diberikan kepada anak memang boleh secara syari’at. Tapi, menurut Kiai Ahmad, dengan syarat, alasannya harus benar dan dengan kerelaan si penerima hibah. Bila tidak, sama saja orang itu meludah kemudian menjilat dan menelan kembali ludahnya itu. Kiai Ahmad mengutip sebuah hadits, “Orang yang meminta kembali atau membatalkan sedekah/hibahnya, bagikan anjing yang muntah, kemudian meminum kembali muntahannya.” (HR. Bukhari).

Dan hal itu telah terjadi pada Mbah Rusminto ketika di Masjidil Haram. Ia telah meminum dahaknya sendiri yang dimuntahkannya tanpa rasa jijik sedikitpun. Na’udzubillahi min dzalik.

edangkan Sardi yang selalu “mengganggu” Mbah Rusminto dengan selalu mengajak pergi Mbah Rusminto selama di tanah suci, adalah anak Rusminto yang menghutanginya sejumlah uang, namun sampai ia berangkat haji, ia belum membayar hutangnya tersebut. Padahal Sardi sangat membutuhkan uang itu. Karenanya Sardi sebenarnya tidak rela dengan tindakan ayahnya itu.

Soal pengakuan Mbah Rusminto di Mekah bahwa ia bukannya anaknya Marto, menurut Kiai Ahmad, adalah karena kecurangan dan ketamakannya terhadap harta. Mbah Rusminto meminta warisan yang ditinggalkan Marto, yang sebenarnya bukan ayahnya. Sebab ketika ibunya bercerai dengan Marto, ibunya belum hamil.

Mbah Rusminto adalah anak hasil perkawinan ibunya dengan orang lain, tidak dengan Marto. Jadi, Mbah Rusminto bukanlah anak dari Marto. Namun, karena gila harta, Mbah Rusminto mengaku-aku sebagai anaknya Marto dan meminta bagian warisan kepada Sartono, anak kandung Marto yang sebenarnya.

Cara Mbah Rusminto meminta bagian warisan itu pun dengan menghalalkan segala cara. Mbah Rusminto secara diam-diam menteror dan mengintimidasi Sartono sehingga membuat Sartono nyaris stress dan linglung. Kasus permintaan bagian warisan itu sendiri sebenarnya sempat dibawa ke pengadilan. Tapi, akhirnya Mbah Rusminto dapat memenangkan perkara itu karena untuk mencapai ambisinya itu, ia berani membayar pengacara (advokad) agar memenangkan dalam persidangan. Persis seperti pengakuannya ketika di Mekah.

Akibatnya, saat berhaji, Mbah Rusminto menjelma seperti orang linglung. Perilakunya aneh dan sak karepe dhewe (semaunya sendiri). Bahkan ia pun menguak aibnya sendiri yang selama ini ditutup-tutupinya dengan rapat-rapat di hadapan rombongan haji yang tak lain beberapa di antaranya adalah tetangganya sendiri.

Begitulah nasib Mbah Rusminto. Tidak bisa beribadah haji dengan baik akibat ulahnya sendiri. Bahkan angan-angan Mbah Rusminto untuk menggapai prestise sebagai seorang “Mbah Kaji” yang disegani dan dihormati tidak tercapai. Alih-alih tercapai, bahkan aibnya yang selama ini dipendamnya rapat-rapat malah terkuak, yang akhirnya malah menghancurkan namanya.

Masa tua Mbah Rusminto pun akhirnya dilalui dengan penuh penderitaan. Sampai akhirnya Mbah Rusminto meninggal dunia beberapa tahun kemudian. Semoga ada ibroh (pelajaran berharga) yang dapat kita petik dari kisah di atas.

*** Seperti yang diceritakan Baqiyatus Sholihah (tetangga Mbah Rusminto) kepada Badiatul Muchlisin Asti.

Sumber : Kabar Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar