Tapi
tidak begitu yang dialami oleh Mbah Rusminto (70 tahun). Perjalanan
haji justru menguak tabir aib yang selama ini dipendamnya. Ka’bah dan
kesakralan tanah suci bagai membelejeti perilaku-perilaku buruk yang
dilakukannya selama ini.
Aib-aibnya
tergambar jelas dalam sikap dan perilaku anehnya selama di tanah suci.
Semua itu terjadi secara spontan di luar jangkauan nalarnya. Orang-orang
pun, terutama beberapa tetangganya yang bersama-sama satu rombogan
dengannya, terbelalak. Sehingga terkuaklah rahasia di balik siapa
sebenarnya Mbah Rusminto. Perilaku apa saja yang telah mengantarnya
mempunyai perilaku-perilaku yang aneh selama di tanah suci? Berikut ini
kisah selengkapnya. Nama-nama dan tempat peristiwa dalam cerita ini
telah disamarkan. Bila terjadi kesamaan, hal itu hanya kebetulan belaka.
Perilaku Aneh dan Menjijikkan
Berhaji
bagi penduduk desa Mekarsari, sebuah kampung di pelosok Propinsi Jawa
Tengah, memang merupakan sebuah prestise. Sehingga tak sedikit penduduk
yang berkeinginan untuk naik haji sekedar untuk menaikkan citra diri
mereka. Setelah berhaji, mereka akan dipanggil “Pak Kaji” atau Mbah
Kaji”. Duh, senangnya hati dipanggil seperti itu. Terasa begitu
terhormat dan penuh wibawa.
Motif
itu pula yang melecut Mbah Rusminto untuk bisa segera berangkat haji.
Terbayang di pelupuk matanya, sepulang dari haji, dirinya akan dipanggil
“Mbah Kaji” oleh tetangga-tetangganya., bahkan oleh seluruh warga di
kampungnya. Orang-orang akan semakin menaruh hormat kepadanya. Atau
paling tidak merasa segan kepadanya. Hmm, sungguh membanggakan sekali,
begitu barangkali pikiran Mbah Rusminto. Dengan predikat “haji”,
hari-hari tuanya setelah ditinggal mati oleh istrinya akan dilalui
dengan segudang hormat dan segan dari masyarakat.
Sebenarnya
Mbah Rusminto bukanlah tergolong orang berada. Karena itu, untuk
membayar ongkos haji, ia harus pontang-panting sabet sana-sabet sini,
termasuk di antaranya harus ngutang (berhutang) dan merelakan sebagian
besar tanahnya terjual. Padahal, beberapa bagian tanah itu adalah milik
anaknya yang telah ia berikan, tapi akhirnya diminta kembali olehnya.
Semua itu semata untuk memenuhi hajat ‘nafsunya’ agar dapat memiliki
prestise sebagai seorang haji di mata masyarakat.
Sebagaimana
layaknya orang yang akan berangkat haji, Mbah Rusminto pun mengadakan
acara kenduri dan pengajian dengan mengundang karib kerabat dan
orang-orang kampung. Hingga waktu yang telah ditentukan, ia pun akhirnya
berangkat haji bersama-sama beberapa tetangganya satu rombongan.
Tak
ada yang aneh saat perjalanan menuju ke tanah suci. Namun, sesampainya
di Mekah, mulailah terjadi hal-hal aneh dan ganjil yang dialami oleh
Mbah Rusminto. Di Masjidil Haram, misalnya, tiba-tiba Mbah Rusminto
mengeluarkan dahaknya dari tenggorokan dan kemudian meludahkannya ke
lantai masjid. Tentu saja orang-orang yang melihat tingkah Mbah Rusminto
itu terkejut bukan main.
“Lho Mbah, kok jenengan ngidu ning tegel? (Lho
Mbah, kok Anda meludah di lantai?)” tegur Kiai Ahmad, pemimpin
rombongan yang memimpin rombongan di mana Mbah Rusminto ikut di
dalamnya.
Dan
anehnya, mendengar teguran Kiai Ahmad, bukannya Mbah Rusminto
membersihkan dahak kental yang berjuntai di lantai masjid itu, tapi Mbah
Rusminto malahan memungut dahak itu dengan tangannya dan memasukkannya
ke dalam gelas plastik yang dibawanya. Begitu seterusnya hingga dahak
itu banyak dan hampir memenuhi gelas plastik yang dibawanya. Lalu
terjadilah keanehan selanjutnya. Di luar dugaan orang-orang, Mbah
Rusminto kemudian meminum dahaknya itu tanpa sedikit pun rasa jijik.
Lagi-lagi orang-orang dibuat heran.
“Lho
riyak kok diombe Mbah? (Lho, dahak kok diminum Mbah?)” tanya Kiai Ahmad
dengan rasa jijik melihat tingkah Mbah Rusminto itu. Eh, yang ditanya
malah cengar-cengir saja seperti orang yang tak bersalah. Sedang
orang-orang yang melihat merasakan jijik yang amat sangat. Kiai Ahmad
sendiri bahkan mengaku tidak doyan makan selama berhari-hari bila
teringat perilaku menjijikkan Mbah Rusminto meminum dahaknya sendiri.
Setiap kali makan dan teringat peristiwa menjijikkan itu, Kiai Ahmad
selalu muntah-muntah.
“Hilang” Diajak Anaknya
Berbagai
manasik telah dilalui Mbah Rusminto beserta rombongannya. Manasik
selanjutnya adalah ke Arafah. Setelah wukuf, sekitar jam 12.00, semua
rombongan bermunajat kepada Allah di luar tenda. Namun, Mbah Rusminto
malah ogah-ogahan duduk-duduk saja di tenda.
Saat
di Muzdalifah, Mbah Rusminto tak mau mencari kerikil (batu kecil)
sendiri. Ya, akhirnya ada tetangganya yang mengalah mencarikannya.
Kemudian, rombongan menuju Mina untuk melempar jumrah. Di sana, Rusminto
malah “menghilang”. Entah ke mana orang-orang nggak tahu.
Menurut
pengakuannya setelah ditemukan, ia tadi diajak pergi oleh salah seorang
anaknya yang bernama Sardi. Ini tentu aneh sekali, karena Sardi anaknya
itu tidak ikut haji. Anehnya, Mbah Rusminto tidak merasakan kejanggalan
itu. Akhirnya, Mbah Rusminto tidak melempar jumrah sendiri.
Saat
rombongan kembali ke Mekah untuk thawaf wada (thawaf yang terakhir),
nah saat itulah Mbah Rusminto “menghilang” lagi. Tak ada yang tahu ke
mana perginya. Dan yang mengejutkan, setelah tiba-tiba ia nongol, dari
mulut Mbah Rusminto terlontar omongan yang seolah tanpa disadarinya
seperti orang meracau. Dalam omongannya itu, Mbah Rusminto justru
menguak aib yang selama ini disimpannya rapat-rapat.
“Aku ini bukan anaknya Marto. Yang
anaknya Marto itu Sartono. Aku minta tanahnya Sartono itu dengan
membayar pembela 2 juta,” itulah di antara kata-katanya tanpa ditanya di
hadapan teman-teman serombongan yang sebagiannya adalah
tetatangga-tetangganya sendiri.
Malam
Jum’at, rombongan sampai di Madinatul Hujat, siangnya setelah shalat
Jum’at, Mbah Rusminto mengaku diajak lagi oleh “Sardi”, anaknya.
Anehnya, Mbah Rusminto bagai kerbau dicocok hidungnya, menuruti saja ke
mana pun diajak oleh “Sardi” dan tidak merasa kalau dirinya tersesat.
“Hilangnya” Mbah Rusminto membuat kebingungan teman-temannya satu
rombongan. Untungnya, akhirnya Mbah Rusminto dapat ditemukan.
Ada apa di balik semua kisah yang terjadi pada Mbah Rusminto?
Menarik Hibah tanpa Alasan
Ternyata
memang, semua rangkaian keanehan dan keganjilan yang dialami oleh Mbah
Rusminto selama menunaikan ibadah haji adalah sebagai cerminan dari
perilaku jahatnya selama ini. Seolah-olah Allah hendak memperlihatkan
kebesaran-Nya dengan menguak tabir aib hamba-Nya yang berbuat jahat.
Kesucian Mekah seolah tak bisa menerima orang-orang jahat seperti Mbah
Rusminto yang hajinya pun tidak ikhlas, tapi hanya memburu prestise
diri, yaitu gelar “Haji” semata.
Lalu, apa saja perilaku jahat Mbah Rusminto?
Menurut
penuturan Kiai Ahmad, sebelum berangkat haji, Mbah Rusminto telah
memberi hibah kepada anak perempuannya berupa sebidang tanah. Namun tiba-tiba ia memintanya kembali tanpa alasan yang pasti, sehingga anaknya pun merasa sakit hati.
Meminta
kembali hibah yang telah diberikan kepada anak memang boleh secara
syari’at. Tapi, menurut Kiai Ahmad, dengan syarat, alasannya harus benar
dan dengan kerelaan si penerima hibah. Bila tidak, sama saja orang itu
meludah kemudian menjilat dan menelan kembali ludahnya itu. Kiai Ahmad
mengutip sebuah hadits, “Orang yang meminta kembali atau membatalkan
sedekah/hibahnya, bagikan anjing yang muntah, kemudian meminum kembali
muntahannya.” (HR. Bukhari).
Dan hal itu telah terjadi pada Mbah Rusminto ketika di Masjidil Haram. Ia telah meminum dahaknya sendiri yang dimuntahkannya tanpa rasa jijik sedikitpun. Na’udzubillahi min dzalik.
edangkan
Sardi yang selalu “mengganggu” Mbah Rusminto dengan selalu mengajak
pergi Mbah Rusminto selama di tanah suci, adalah anak Rusminto yang
menghutanginya sejumlah uang, namun sampai ia berangkat haji, ia belum
membayar hutangnya tersebut. Padahal Sardi sangat membutuhkan uang itu.
Karenanya Sardi sebenarnya tidak rela dengan tindakan ayahnya itu.
Soal
pengakuan Mbah Rusminto di Mekah bahwa ia bukannya anaknya Marto,
menurut Kiai Ahmad, adalah karena kecurangan dan ketamakannya terhadap
harta. Mbah Rusminto meminta warisan yang ditinggalkan Marto, yang
sebenarnya bukan ayahnya. Sebab ketika ibunya bercerai dengan Marto,
ibunya belum hamil.
Mbah Rusminto adalah anak hasil perkawinan ibunya dengan orang lain, tidak dengan Marto. Jadi,
Mbah Rusminto bukanlah anak dari Marto. Namun, karena gila harta, Mbah
Rusminto mengaku-aku sebagai anaknya Marto dan meminta bagian warisan
kepada Sartono, anak kandung Marto yang sebenarnya.
Cara
Mbah Rusminto meminta bagian warisan itu pun dengan menghalalkan segala
cara. Mbah Rusminto secara diam-diam menteror dan mengintimidasi
Sartono sehingga membuat Sartono nyaris stress dan linglung. Kasus
permintaan bagian warisan itu sendiri sebenarnya sempat dibawa ke
pengadilan. Tapi, akhirnya Mbah Rusminto dapat memenangkan perkara itu
karena untuk mencapai ambisinya itu, ia berani membayar pengacara
(advokad) agar memenangkan dalam persidangan. Persis seperti
pengakuannya ketika di Mekah.
Akibatnya,
saat berhaji, Mbah Rusminto menjelma seperti orang linglung.
Perilakunya aneh dan sak karepe dhewe (semaunya sendiri). Bahkan ia pun
menguak aibnya sendiri yang selama ini ditutup-tutupinya dengan
rapat-rapat di hadapan rombongan haji yang tak lain beberapa di
antaranya adalah tetangganya sendiri.
Begitulah
nasib Mbah Rusminto. Tidak bisa beribadah haji dengan baik akibat
ulahnya sendiri. Bahkan angan-angan Mbah Rusminto untuk menggapai
prestise sebagai seorang “Mbah Kaji” yang disegani dan dihormati tidak
tercapai. Alih-alih tercapai, bahkan aibnya yang selama ini dipendamnya
rapat-rapat malah terkuak, yang akhirnya malah menghancurkan namanya.
Masa tua Mbah Rusminto pun akhirnya dilalui dengan penuh penderitaan. Sampai
akhirnya Mbah Rusminto meninggal dunia beberapa tahun kemudian. Semoga
ada ibroh (pelajaran berharga) yang dapat kita petik dari kisah di atas.
*** Seperti yang diceritakan Baqiyatus Sholihah (tetangga Mbah Rusminto) kepada Badiatul Muchlisin Asti.
Sumber : Kabar Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar