Total Tayangan Halaman

chiclet from feed burner

Senin, 16 Juli 2012

kisah-tukang-cabut-rumput-naik-haji


Kisah Haji -  kisah-tukang-cabut-rumput-naik-haji

Sungguh, rezeki Allah tak terduga, zigzag dan penuh romantika. Laksana kisah berhaji, berbuku-buku kalau ditulisi. Dulu ada haji abidin (haji atas biaya dinas), haji abakar (haji atas biaya Golkar), haji boh itek (naik haji dengan menjual telur bebek) dan banyak lagi lainnya. Saat berhaji 2005 lalu, saya sempat menanyai beberapa rekan bagaimana bisa berhaji. Apa rahasianya? Saya menduga, orang pergi haji pastilah kaya dan mapan, alias berkecukupan.
Ternyata saya salah, kisahnya bermacam ragam, tetapi hampir senada. Ada yang jual kambing, lembu, kerbau, tanah. Ada yang buat bubuk kupi. Ada yang buat kaleng. Ada yang jualan manisan. Bahkan ada yang cuma jualan sayur-mayur di kaki lima pasar, tapi toh bisa berhaji. Dan mereka bukan orang yang benar-benar kaya.
Kesimpulannya, Allah memilihkan tamu-tamuNya bukanlah orang-orang ”the have”, tetapi ”have a dream” dan ”brave”. Maksudnya bukan orang-orang ”berpunya”, tetapi ”punya mimpi” dan ”pemberani”. So, kalau mau berhaji, bermimpilah dan jadilah pemberani. Nggak percaya? lihatlah sekeliling. Orang-orang yang naik haji bukanlah semua naik Innova, terkadang cuma punya sepeda unta. Bahkan Bang Ameer Hamzah (penceramah Mesjid Raya) naik haji hanya karena doa orang gila (nggak percaya? tanya padanya). Dan saya naik haji pun, karena berkat doa mertua….
Begini kisahnya. Setelah mengikuti Seminar Career Planning di FMIPA Unsyiah pada 1995. Yang digagas oleh Pak Saiful Mahdi (sekarang Direktur ICAIOS) dan diisi oleh Pak Samsul Bahri (PLN). Semoga Allah merahmati mereka berdua (Amin). Saya menulis di My Map of Life (Peta Hidup Saya), bahwa saya akan berhaji pada usia 45 (tahun 2020 nanti). Tetapi rupanya Allah mempercepat 15 tahun ke 2005. Caranya? Di luar dugaan, hanya dengan menjadi cleaning service dan tukang cabut rumput.
Awal Agustus 2003, saya memboyong istri ke Adelaide (Australia Selatan) untuk menemani kuliah S2. Walau saat itu beasiswa untuk satu orang, saya nggak peduli.  Saya yakin: rezeki Allah ada dimana-mana. Suatu malam datanglah telepon dari Ibu isteri (mertua). Beliau mengabarkan bahwa tidak bisa berhaji tahun depan (2004) dengan kawan-kawan sekampung, waiting list karena telat bayar. Padahal beliau sudah berumur 70 tahun, sehingga sangat butuh pendamping. Entah atas pertimbangan apa, beliau minta kami yang mengawani. Padahal banyak saudara lain lebih mampu.
Saya bilang sama isteri ”kita tidak punya dana, beasiswa 1 orang pun kita pakai berdua. Tapi supaya ibu tidak kecewa, kita coba kerja apa yang bisa. Kalaupun nggak cukup berdua, adek saja yang kawani Ibu”. Deal. Akhirnya mulailah kami kerja: apa saja, asal halal. Isteri jadi asisten chef di Restoran Indonesia. Saya jadi cleaning service di dua perusahaan berbeda. Sebelum subuh sudah berangkat kerja, pulang kuliah lanjut lagi. Kadang-kadang hingga tengah malam. Kalau liburan, ditambah lagi kerja lain seperti cabut rumput di nursery (tempat pembibitan), petik cherry, angkat kentang dll. Seru habis.
Saat cabut rumputlah yang paling berkesan, hampir sebulan lamanya. Kami berangkat setelah shalat subuh dan baru pulang menjelang magrib. Bayangkan saja, cabut rumputnya dari jam 8 pagi hingga pukul 6 sore dan letaknya jauh di luar kota. Nursery (tempat pembibitan) kami kerja itu luasnya lebih satu kilometer persegi. Bermacam-macam jenis bibit tersedia disana. Dari bunga-bungaan hingga pohon-pohonan. Dari bunga ”po siploh” hingga mawar berduri. Dari bibit anggur hingga pohon apel besar. Cabut rumputnya sambil merangkak. Merana  sekali kalo cabut rumputnya dibawah pokok mawar, badan tergores sama duri-durinya. Selain sakit pinggang, jari-jaripun jadi nggak ada rasa lagi. Esok harinya, pas bangun pagi semua jari tangan sudah pada ”cekang” semua. Sama istri diurut sedikit-sedikit dengan minyak zaitun, baru normal lagi dan siap dibawa lagi untuk cabut rumput. Duh, kasihannya jari-jari ini. Begini terus menerus hingga hampir sebulan lamanya. Alhamdulillah sekarang jari tangan masih baik-baik aja. Pun, hampir setengah dana haji terkumpul dari cabut rumput ini. Sekali lagi, summa alhamdulillah.
Ketika masa penyetoran haji tiba, kamipun menghitung hasil keringat. Alhamdulillah, terkumpul 6.000 dolar (sekitar 40 juta), cukup untuk berdua. Sungguh, Allah baik sekali. Semua ini berkat doa mertua dan orang-orang yang sayang sama kami. Desember 2005, kamipun ke tanah suci, dipimpin Abu Madinah. Yang terkesan adalah: saya dipercayakan azan saat sholat subuh diatas pesawat menuju tanah suci. Hal itu terus berulang, bahkan saat wukuf di Arafah. Mungkin inilah buah sering azan di meunasah, sejak kecil hingga sekarang. Ada perasaan aneh saya rasakan waktu wukuf. Yaitu: serasa raga ini bukan punya saya. Saat itu, jangankan mandi dan memakai minyak wangi, menggaruk saja tak boleh. Haji lebih dahsyat dari puasa. Kalo puasa tidak boleh makan makanan punya  sendiri, di haji kita bahkan tak punya hak akses atas tubuh sendiri.
Hal lainnya yang saya liat, ada jemaah yang tiba-tiba ”hilang akal” saat wukuf. Beliau jadi sibuk mengorek-ngorek kotak sampah mencari entah apa. Ada yang harus dibawa dengan ambulance, padahal sebelumnya sangat pede karena sudah pernah pergi. Ada yang sakit dari sejak berangkat hingga pulang setelah curiga uangnya diambil pimpinan. Ada yang kejebak dan pingsan dalam lift setelah menuduh orang lain membuang daging yang dikeringkan diatas kulkas. Ada yang ditinggalkan bus karena mencari orang-orang yang tertinggal.
Kisah saya sendiri, hilang jam setelah takjub karena jam tersebut tetap lengket hingga haji selesai. Bisa berjumpa kawan lama waktu di Adelaide dulu (asal Padang) setelah berdoa (agar ketemu) di Masjid Nabawi. Padahal saat itu, jutaan orang ada disana. Yang terakhir, saya tiga kali bolak-balik masuk Raudhah (tempat makbul doa, terletak antara rumah nabi dan mimbarnya) untuk mendoakan saudara yang sudah tiga kali masuk ICCU di Aceh karena komplikasi paru-paru dan diabetes. Beliau bahkan sudah dipeuintat keluarganya yang sudah rela melepas kepergiannya. Toh beliau sehat kembali dan sehat kembali setiap kali kami berdoa di Raudhah. Bahkan berjumpa saya waktu sudah kembali dari tanah suci. Banyak lagi kisah lainnya. Tak cukup halaman untuk ditulis disini. Demikian dulu, sampai jumpa di tulisan lainnya.
*) Penulis: Mantan buruh di Adelaide, Australia Selatan, saat kuliah S2  disana.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar